Minggu, 08 Maret 2009

Renungan Dua Puluh



Dua puluh tahun yang lalu ia lahir ke dunia


Dua dasawarsa ia diberi kesempatan melihat silaunya matahari di atas bumi yang kian teraniaya


Dua puluh tahun jantungnya telah berdetak dalam hitungan yang bahkan tak kan sanggunp ia memikirkanya


Dua puluh tahun mata ini melihat alam semesta, yang seringnya membuat decak kagum, membuat diri ini kecil di hadapanNya


Dua puluh tahun mulutnya telah mengucapkan banyak kata, frasa, dan kalimat yang entah seperti apa bentuknya


Dua puluh tahun otaknya bekerja mencari arti hidup, mengingat tujuan hidup semula karena pada hakikatnya ia lupa akan janjinya


Dua puluh tahun telah ia dengar dengan telinga, macam-macam lagu kehidupan


Dua puluh tahun tubuhnya mencerna, tumbuh tapi kondisinya kian rapuh karena keegoisan pemakainya


Dua puluh tahun telah ia kunjungi dengan kakinya tempat-tempat yang istimewa. Masih ingin ia menginjakkan kaki di belahan bumi lainnya


Dua puluh tahun mengalami semua kata sifat(adjectives). Senang, sedih, marah, susah, bahagia, sakit, kecewa, pintar, bodoh, lapar, haus, kurus, gemuk, jelek, cantik, gila, dst


Dua puluh tahun ia jatuh dan bangkit, seterusnya


Dua puluh tahun bersama orang-orang yang kini tak lagi utuh secara fisik karena sebagian dari mereka telah kembali ke Sang Pemilik


Dua puluh tahun lamanya ia belajar memaknai kehilangan dan anugerah. Karena keduanya merupakan hal-hal yang memiliki hikmah luar biasa

Dua puluh tahun ini entah berapa galon airmata yang tumpah, baik karena kebahagiaan maupun kesedihan


Dua puluh tahun lamanya bertemu berbagai macam makhluk ciptaanNya, berkawan dengan mereka, terkadang terluka juga


Dua puluh tahun diri ini meninggalkan jejak di hati orang-orang yang mengenalnya. Entah itu jejak yang tercetak jelas ataupun samar-samar. Tak jelas pula apakah jejak itu bermanfaat atau justru menyakiti?


Dua puluh hati ini terpakai, ibarat pisau yang bisa mengancam jika pemiliknya tak hati-hati memakainya


Dua puluh tahun ia mencari jati diri, berusaha menciptakan suatu karya nyata dalam hidupnya


Dua puluh tahun diizinkan bernafas, selama itu pula telah jauh dariNya


Dua puluh tahun tangan ini menengadah, hati ini gerimis, berharap Ia kan s’lalu Memberikan ridhoNya di tiap nafas, tiap langkah, tiap waktu yang masih tersisa…

1 komentar:

  1. Hehe, ternyata pinter buat puisi. Usia memang selelu bertambah tanpa kita sadari. siap saja memperbaiki diri, karena jal kan datang tepat waktu tanpa bisa ditunda dan kapan saja.

    BalasHapus