Sabtu, 05 Desember 2009

The Real Actors


“Guru adalah aktor yang hebat”. Aku teringat ucapan salah seorang guruku di SMA dulu. “Saat mereka ada masalah, baik di rumah atau di luar, mereka akan tetap memasang senyum. Berpura-pura bahwa tak terjadi apa-apa dengannya. Menyampaikan ilmu pada kalian yang sudah menjadi tugasnya. Walaupun ia sedang tak punya uang, anaknya sakit, atau sedang ada perselisihan dengan siapapun, ia tak boleh membawa masalahnya ke dalam kelas”, lanjut guruku.


Kata seorang dosen, “Jangan berharap mendapatkan uang banyak dari mengajar jika tak mau kecewa.”

“Guru yang baik adalah mereka yang mencintai pekerjaannya”, pernah suatu kali aku membaca hal itu di sebuah buku.


Entah sejak kapan aku mendeklarasikan diri untuk menjadi seorang guru. Mungkin sejak kecil. Akan tetapi, cita-cita seorang anak selalu berubah seiring berubahnya usia. Namun saat memasuki sekolah menengah atas, kembali ku mantapkan keinginan “Ya, aku akan menjadi seorang guru”. Karena kukira profesi itu yang cocok untuk seorang perempuan. Terlebih ketika diajar oleh seorang guru yang sangat menyenangkan di SMA. Beliau orang yang sangat bersemangat. Tak hanya pelajaran yang diampunya yang sangat bermanfaat, tetapi juga pelajaran tentang kehidupan yang dibawanya di sela-sela pelajaran yang sangat mengena. Pernah suatu kali aku sampai menangis ketika beliau mengisahkan tentang bagaimana sakitnya seorang ibu yang melahirkan. Dan nasehat-nasehat dari beliau begitu bermakna. Benar-benar seorang guru yang hebat.

Ada lagi seorang guru yang juga kukagumi. Beliau tak hanya mengajarkan teori, tetapi langsung mempraktekkan apa yang kita dapat. Contohnya, kita pernah diajak menulis surat pembaca dan benar-benar mengirimkannya langsung ke koran. Ketika tulisan kita dimuat, rasanya senang sekali. Metode yang bagus! Sebab sejak saat itu aku jadi semangat untuk menulis.

Ada sebuah cerita inspiratif dari seorang guru yang mengajar di sekolah tempatku praktek. Beliau bercerita bahwa pernah suatu saat beliau mengikuti semacam pelatihan tingkat nasional di sebuah kota. Oleh para instruktur yang mengajar, ia ditawari untuk mengajar di perguruan tinggi. Tak heran juga, sebab menurutku beliau memang seornag guru yang cerdas, kreatif dan inovatif. Menurut instruktur tadi, guru tersebut terlalu sayang jika hanya mengajar di tingkat sekolah. Ternyata bukan hanya sekali beliau menerima tawaran semacam itu, namun berkali-kali dan akhirnya ditolak. Sambil menerawang saar menceritakan pengalamannya, guru tadi berkata, “Jiwa saya sudah ada di sekolah ini. Inilah habitat saya. Berkumpul bersama anak-anak. Walau terkadang mereka memang tak mudah diatur, ada suatu kepuasan tersendiri ketika berhasil membawa mereka. Saya tidak mau pendidikan tingkat sekolah hanya diisi oleh orang-orang dengan metode konvensional”. Begitu cintanya beliau pada murid-muridnya. Dan itulah sejatinya guru.

Namun manusia memang tak ada yang sama. Ada guru yang sangat baik, menyenangkan, membosankan, menyebalkan, galak, dst. Akan tetapi di balik semua itu terkadang kita tak pernah menyangka bahwa ternyata di luar kelas sifat mereka bisa jadi sangat berbeda dari apa yang kita tahu. Ternyata ada dosen yang terkenal killer di dalam kelas, tetapi begitu friendly ketika di luar kelas. Ada juga guru SMP ku yang sangat galak ketika mengajar, tetapi beliau sangat telaten dan caring merawat muridnya yang sakit ketika diadakan suatu acara di sekolah. Sudahkah kita benar-benar mengenal dengan baik sosok guru-guru kita?

Dan disinilah aku. Aku yang saat ini mencoba berlatih untuk berada di posisi mereka. Memahami bagaimana rasanya diperhatikan saat mengajar, bagaimana rasanya ada murid yang bicara sendiri ketika mengajar, bagaimana rasanya jika ada yang tidur ketika kita sudah mulai lelah untuk menerangkan, bagaimana rasanya murid-murid begitu antusias mendengar cerita kita, bagaimana rasanya ada murid yang selalu terlambat mengumpulkan tugas, dsb. Pernahkah kalian dulu membayangkan ada di posisi mereka?

Ketika sedang ada permasalahan pribadi, seorang guru harus tetap tersenyum, mengajar dengan sabar, pantang membawa masalah itu ke dalam kelas. Namun suatu hari aku gagal menjadi “seorang aktor”. Aku terpancing sekelompok murid yang tak mau tetap bicara sendiri saat pelajaran walaupun sudah diingatkan berkali-kali. Aku menyerah. Dalam hati aku berkata, mereka bukan tak menghargaimu, mereka hanya belum tahu rasanya berada di posisimu. Ternyata seperti ini perasaan seorang guru jika disepelekan?
Dulu waktu masih bersekolah, kelasku diajar oleh guru praktikan. Teman-teman sekelas sepakat untuk mengerjainya. Kita mendiamkannya. Diajak bicara atau ditanya apapun, kita tak boleh mengeluarkan sepatah kata. Terkadang kita memlesetkan namanya agar terdengar lucu. Murid-murid yang “mengerikan” bukan?

Akan tetapi disinilah aku. Aku yang sekarang ada di posisi yang sama sepertinya. Aku yang rasanya baru beberapa waktu lalu bersama teman-temanku menjahili guru praktikan tadi. Sekarang aku berdiri disini, merasakan apa yang dirasakannya dulu. Walau tak separah dirinya. Ingin sekali aku menangis, bukan karena murid-muridku yang kadang menjengkelkan, namun menangis karena mungkin dulu aku pernah menyakiti guru-guruku, entah sengaja ataupun tidak.

******

“Perlakukanlah orang lain sebagaimana kalian ingin diperlakukan”, begitulah aku berpesan pada murid-muridku saat terakhir kalinya aku mengajar di sekolah tempat praktek. Karena aku yakin, suatu saat nanti ada salah satu atau beberapa dari mereka yang menempati posisi seorang guru dan merasakan hal yang sama seperti yang kualami.



Magelang
5 Desember 2009
Terinspirasi dari Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November


** Tulisan sederhana ini didedikasikan untuk para guru, (calon) guru, dan teman-teman seperjuangan yang tengah merasakan pahit manisnya “belajar menjadi guru”. Serta untuk semua orang yang pernah memiliki guru. Ingatlah bahwa tanpa mereka (guru-guru kita), kita tak akan bisa menjadi seperti saat ini


2 komentar:

  1. Subhanallah, hampir menangis aku membaca artikel ini. Bukan karena teringat pada kenakalan saat menjadi seorang murid dulu (aku termasuk siswa yang penurut, temasuk pada guru praktikan), tapi karena hingga hari ini aku belum bisa mendedikasikan diri untuk menjadi seorang guru. Padahal, aku berada dilingkungan pendidik. Alasan yang selalu muncul dihati, karena aku tahu, aku tidak mampu untuk menjadi aktor yang baik, yaitu GURU.

    BalasHapus
  2. emmm, menyentuh hati dul.., bagus bgt..., sampe merinding aq.., ^^

    BalasHapus